RINAI CINTA DALAM HUJAN
Oleh: Feby Widyanata
Cinta selalu hadir dengan tiba-tiba, tak terduga, dan tanpa rencana. Mengetuk pintu hati seseorang dengan perlahan, lalu menghamburkan aroma keindahan dalam hati mereka, kebahagiaan yang tak tersirat. Cinta dan rindu beradu satu dalam ruang dan waktu bagi sepasang mahluk yang bernama manusia.
***
Rinai hujan kembali membasahi di kala bulan Oktober tiba. Awan kelabu selalu menjadi pertanda sebelum ia menginjakkan kakinya di bumi. Titik demi titik airnya jatuh, perlahan tapi pasti. Hujan pertama di bulan Oktober. Aromanya sangat terasa sore ini.
Langit mendung masih menggantung, Cinta berlari kecil menuju sebuah halte bus untuk berteduh dan menunggu bus kota. Sambil menunggu, Cinta bernyanyi-nyanyi kecil dengan riang karena dia memang sangat menyukai hujan, hujan pertama di bulan Oktober. Cinta menadahkan tangannya untuk meraih titik-titik air, lalu mempermainkannya. Tanpa disadari, ada seseorang yang memperhatikannya sejak tadi. Pria itu lalu bertanya padanya.
“Kamu suka hujan, ya?,” tanya Pria itu sambil tersenyum kecil. Pria itu merasa terhibur melihat tingkah Cinta yang bernyanyi riang. Cinta agak sedikit terkejut lalu balik bertanya.
“Memangnya kenapa? Aneh ya?,” tanya Cinta memasang wajah heran.
“Agak terkesan lucu bagiku, karena biasanya seorang gadis pasti membenci hujan, lalu mereka akan memasang wajah cemberut sambil berharap hujan segera berhenti. Air hujan akan menghapus riasan wajah mereka. Lagipula ada yang bilang, jika hujan turun seseorang pasti sedang bersedih. Hujan ibarat sesuatu yang tidak menyenangkan.” jawab pria itu lagi.
“Hmm… Sayang sekali hal itu tidak berlaku bagiku. Hujan sangat menyejukkan dan entah kenapa ada rasa bahagia yang menjalar ketika menghirup aroma basahnya. Aku suka hujan, karena setelahnya pelangi akan hadir menggantung di langit.” jawab Cinta yakin. sembari memandang wajah pria itu. Wajah yang sangat indah, mata pria itu tajam namun begitu indah berpadu dengan alis tebal yang dimilikinya, hidungnya mancung, dan bibirnya tersenyum polos. Mata yang begitu indah batin Cinta.
“Oh ya? Sebenarnya aku tidak begitu menyukai hujan, tapi kamu membuatku ingin menyukainya. Aku akan mencoba untuk meresapinya lain waktu. Kenalkan, namaku Angga Hadinata,” seru pria itu lagi sambil mengangkat tangan kanannya dan tersenyum manis sekali. Cinta menyambut tangan pria itu.
“Cinta Apradhita,” jawab Cinta.
Sejak saat itu Cinta dan Angga lebih sering bertemu, mengikat janji, entah itu untuk makan siang bersama atau berdiskusi tentang sesuatu di perpustakaan. kebetulan mereka berdua kuliah di universitas yang sama dan berkecimpung dalam dunia tulis-menulis. Cinta adalah anggota biasa dari sebuah klub menulis di kampus itu, sedangkan Angga bergabung dalam Koran Penerbitan Kampus. Hal itu membuat mereka nyaman untuk saling berdiskusi satu sama lain.
***
Bila cinta menggugah sebuah rasa, maka segalanya akan terasa begitu indah, terukir di dalam hati hingga menyentuh jauh ke dalam relung jiwa. Menulis dan membelai cinta takkan lekang oleh waktu. Cinta yang seperti ini dan cinta yang seperti itu. Cinta ibarat anugerah terindah dan menyakitkan dalam satu waktu. Namun, cinta akan tetap menjadi cinta itu sendiri, tak peduli betapa besar keinginan untuk menghapusnya.
***
Tak terasa, hampir setahun telah berlalu sejak pertemuan di halte. Seiring kebersamaan itu, Cinta tergugah oleh sebuah rasa. Rasa itu menelisik dan menggelitik hatinya. Sebuah rasa yang selalu membuatnya larut dalam keindahan, rasa yang begitu indah dan tak terungkapkan lewat kata apabila ia berada di samping Angga. Ya, Si Mata Indah itu, Cinta memendam rindu yang teramat sangat, rindu yang membuatnya larut dalam keindahan. Getar cinta memenuhi rongga dadanya, mengalir deras di aliran darahnya, lalu berbinar di kedua matanya. Ia menyadari bahwa dirinya telah jatuh terlalu jauh dalam cintanya kepada Angga.
Seperti biasa, Cinta dan Angga mengikat janji untuk makan siang bersama dan membicarakan tentang sesuatu. Hati Cinta bersorak kegirangan tak sabar untuk bertemu dengan Si Mata Indah yang telah merebut hatinya itu. Ia bergegas ke cafe tempat mereka biasa bertemu.
Namun, semua berjalan tidak sesuai harapan. Untaian cinta dan rindu yang sedang dirajut oleh Cinta hancur berkeping-keping, setelah mendengar kekaguman dan kejujuran Angga tentang betapa ia merindukan seorang gadis, tapi sayang gadis yang dimaksud itu bukanlah Cinta, melainkan gadis lain. Gadis itu bernama Ayu, teman seperjuangan Angga di redaksi koran kampus mereka.
”Kamu tahu apa yang kurasakan, Cin? Sepertinya, aku benar-benar jatuh cinta pada Ayu. Kamu kenal Ayu kan? Ya, dia satu fakultas denganmu. Dia begitu sempurna, baru pertama kali aku mengenal gadis seperti dia. Ayu sosok yang sangat pintar, cantik, dan berwawasan. Tak heran setiap orang pasti terpikat oleh pesonanya itu. Kamu baca deh tulisannya ini,” seru Angga bersemangat sambil memperlihatkan tulisan yang dibuat Ayu kepada Cinta. Cinta hanya mengangguk pelan.
”Oh ya? Ya, aku kenal Ayu. Dia memang cantik dan pintar. Jika itu sebuah cinta, aku turut senang kamu bisa bertemu dengan gadis yang sesempurna Ayu,” jawab Cinta sambil tersenyum. Senyum yang terkesan dipaksakan, karena jauh di dasar hatinya, ia menangis dan tak ingin mendengar hal itu. Namun apa daya, sebagai sahabat tentu ia harus mendukung penuh keinginan Angga, lagipula tidak ada yang salah dengan itu, toh Cinta memang hanyalah sahabat Angga tidak lebih. Ia sadar, bahwa cintanya ini tak kan mungkin karena hanya bertepuk sebelah tangan saja.
Angga terus bercerita tentang kekagumannya pada Ayu, tanpa sedikit pun memberi kesempatan bagi Cinta untuk menyela. Hingga pertanyaan yang menyakitkan Cinta terucap dari bibir manis Angga.
”Menurutmu, apa yang harus kulakukan? Mungkin sebaiknya, aku mengatakan isi hatiku padanya,” tanya Angga. Cinta memandang wajah Angga lekat-lekat, matanya mulai berkaca-kaca.
”Maaf, Angga. Aku duluan. Kuliahku sebentar lagi mulai,” jawab Cinta sambil mengambil tasnya di meja, lalu bergegas meninggalkan Angga sendiri.
Cinta berlari menuju toilet, air matanya tak terbendung lagi. Telapak tangan kanannya membekap mulut. Dadanya terasa sesak, kata demi kata yang terucap dari bibir manis Angga, bagaikan belati yang merobek hatinya. Luka, pahit, pedih, dan miris, itulah yang dirasakannya. Derai demi derai air matanya tak jua menghilangkan rasa sakit itu. Rasa sakit oleh karena terlarut dalam cinta bertepuk sebelah tangan. Ia sadar tak sanggup menahannya dan mulai detik ini ia harus menghindari Angga untuk beberapa waktu.
***
Satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Cinta dan Angga tak pernah bertemu, bahkan untuk berbicara via telepon sekalipun. Cinta sangat menikmati masa-masa ini. Ia hanya berfokus pada satu hal, kuliah dan kuliah. Bayangan Angga ingin dibuangnya jauh-jauh. Hari ini Cinta berjalan menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya, tanpa disadari langkahnya diikuti oleh Angga yang sejak tadi membuntutinya.
Tiba-tiba Angga menarik lengannya. Cinta sangat terkejut dan berusaha melepaskan genggaman Angga.
”Cinta, kamu kenapa? Apa ada hal yang membuatmu benci padaku? Maafkan jika aku salah. Aku tidak bisa berdiam diri lagi. Telepon dan SMSku nggak pernah kamu balas. Sebenarnya ada apa, Ta?” tanya Angga sambil memegang erat lengan Cinta.
“Kamu nggak salah, Angga. Aku yang salah. Tapi kalau kamu memang ingin tahu. Baiklah, aku akan jujur. Sebaiknya kita bicarakan di tempat lain saja.” jawab Cinta pasrah. Ia tak mampu lagi memendamnya sendiri dan berniat untuk jujur pada Angga.
Mereka tiba di sebuah cafe, tempat di mana mereka biasa makan siang bersama. Setelah memesan minum dan makanan ringan, mereka memulai pembicaraan.
“Aku....,” seru mereka bersamaan. Mata mereka saling bertemu.
”Kamu duluan, Ga.”seru Cinta mempersilahkan Angga.
”Aku butuh kamu, Cinta. Saat ini, aku benar-benar butuh teman bicara. Aku dan Ayu tidak bisa bersama. Aku terkejut saat tahu kalau Ayu dan Bayu telah lama bertunangan. Dia dan Bayu, sahabatku di redaksi akan menikah bulan depan. Ahhh... Aku nggak ada harapan lagi, Cinta. Tapi mungkin memang dia bukan jodoh aku. Tenang aja, aku nggak apa-apa kok. Setidaknya aku masih punya sahabat yang bernama Cinta dan aku harap dia mau maafin aku, ya, walau aku nggak tau apa yang menyebabkan dia ngambek sama aku. Maafin aku ya, Neng. please?” Angga menjelaskan sambil menyunggingkan senyum terindahnya, lalu mengatupkan kedua telapak tangannya, memohon pada Cinta.
”Hmm... Permohonan maaf diterima. Aku kesal sama kamu, karena waktu itu kamu nggak ngasih aku kesempatan untuk ngomong. Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Begini, ada seorang gadis yang sedang jatuh cinta pada seorang pria yang bermata indah, sebut saja namanya Si Mata Indah. Gadis ini sangat bahagia ketika bersama Si Mata Indah, karena memang mereka bersahabat. Hingga suatu saat, Si Mata Indah ini jatuh hati pada seorang gadis, namun sayangnya gadis yang dimaksud bukanlah gadis ini, melainkan gadis lain. Seketika hati gadis ini hancur berkeping-keping. Aku ingin tahu, menurutmu apa yang bisa diperbuat gadis ini? Apa dia harus jujur tentang perasaannya pada Si Mata Indah itu atau tidak?” tanya Cinta. Cinta memandang lekat mata indah Angga. Angga tampak sedikit berfikir sambil menyeruput teh jahe hangat yang dipesannya. Di balik kaca jendela, hujan menari-nari riang di luar sana. Hujan pertama di bulan Oktober, sama seperti saat mereka pertama kali bertemu setahun lalu.
Angga lalu bersuara.
”Agak berat, kisah itu agak mirip dengan kisahku. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, kan? Aku juga merasakan yang sama, Cinta. Tapi bagiku, gadis ini tidak perlu mengungkapkan isi hatinya itu. Karena dia seorang gadis. Ya, walau zaman memang telah modern. Tapi itu nggak pantas, sebaiknya dia menunggu hingga Si Mata Indah itu melihat ketulusan cintanya.” jawab Angga pasti.
”Lalu bagaimana Si Mata Indah ini tahu tentang perasaan sang gadis? Mungkin sebaiknya gadis ini menyatakannya langsung kan?” tanya Cinta lagi.
“Tapi bukankah gadis ini tahu kalau Si Mata Indah sedang jatuh hati pada gadis lain? Cinta, kamu jangan bodoh. Jangan pernah mempermalukan diri sendiri. Aku ini laki-laki. Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Ayo, ikutlah bersamaku.” Angga menarik tangan Cinta lalu bergegas menitipkan tas dan buku yang mereka bawa pada pemilik cafe. Mereka meniggalkan cafe.
Angga membawa Cinta ke sebuah taman. Hujan membasahi tubuh mereka berdua. Angga menggenggam tangan Cinta dengan lembut, Cinta bisa merasakan kehangatannya.
”Ikuti aku, pejamkan kedua matamu. Lalu rasakan tetes demi tetes air hujan ini menerpa wajahmu. Rasakan aroma basahnya. Rasakan kebahagiaan menjalar di sekujur tubuhmu. Ibaratkan hujan ini adalah rasa cinta yang membasahimu. Nikmati keindahan dan kebahagiaan yang kamu rasakan. Sadari bahwa kamu telah larut di dalamnya. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan merupakan anugerah terindah dari-Nya. Tidak ada yang salah dengan cinta. Biarkan cinta itu mengalir, mengalir, dan terus mengalir. Jika memang kalian ditakdirkan untuk bersama, maka kalian akan memiliki perasaan yang sama suatu saat nanti.” seru Angga lembut.
Cinta membuka kedua matanya, lalu memandangi wajah Angga lekat-lekat. Alis tebal itu, mata indah yang terpejam itu, hidung mancung itu, dan bibir tipis itu. Hati Cinta merasa bahagia, segala rasa sedih yang dirasakannya seakan sirna. Tidak penting untuk memiliki hati Angga seutuhnya, yang terpenting adalah kebersamaan mereka. Cinta memang egois, ia tidak pernah berfikir sedikit pun tentang apa yang dirasakan Angga. Ternyata nasib mereka tidak jauh berbeda. Ia menyadari satu hal tentang cinta, benar apa yang dikatakan Angga, ia hanya harus menunggu. Menunggu cinta mengalir apa adanya. Menunggu saat Angga membuka mata dan melihat ketulusan cintanya. Kini ia hanya perlu menikmati rasa cinta dan kebersamaannya dengan Angga.
Hujan pertama di bulan Oktober perlahan berhenti sore itu, warna keemasan cahaya matahari mulai tampak di balik gumpalan awan yang merekah. Lalu titik-titik hujan membiaskan cahaya matahari, hingga pelangi menggantung indah di atas kepala mereka. Warnanya indah, seindah hati Cinta.
”Lihat Angga, ada pelangi. Itu sebabnya aku selalu menyukai hujan. hujan menyejukkan hati dan pelangi adalah kejutan terindah setelah hujan berlalu. Sekarang kamu tahu kan kenapa aku suka hujan?” tanya Cinta sembari tersenyum. Angga terkejut, lalu cepat-cepat membuka matanya.
”Aku tahu itu, Cinta. Hujan memang selalu bisa membuat orang menyukainya. Oh iya, kamu sudah mengerti tentang cinta itu kan? Maksudku, cintamu pada Si Mata Indah itu?” tanya Angga melirik ke arah Cinta. Angga menikmati hari ini dan ia sadar akan satu hal, ia membutuhkan kehadiran Cinta. Ya, gadis manis yang selalu membuatnya tersenyum dengan tingkah polosnya. Tiba-tiba Angga mengingat hari ketika pertama kali bertemu. Cinta menyanyikan sebuah lagu milik Sherina yang berjudul ”Pelangiku”. Angga tersenyum dalam hati. Kini ia mengerti, betapa ia membutuhkan Cinta.
”Hmm... Iya, kini aku mengerti tentang kekonyolan cinta. Hehehe... Aku akan menunggu hari di mana Si Mata Indah itu melihat ketulusan cintaku ini. Aku akan membiarkan rasa ini tetap ada.” jawab Cinta.
”Maksud kamu? Kamu masih mengharapkan Si Mata Indah itu?” tanya Angga heran. Cinta tersenyum melihat wajah Angga yang manis itu, alis tebalnya mengerut.
”Ya, selama janur kuning belum melengkung. Aku akan menantinya. Ayo kita pulang! Kamu nggak mau kena flu kan? Nanti kalau kamu sakit yang repot kan aku sama ibumu, Ga.” seru Cinta lagi sambil berjalan meninggalkan Angga.
”Tunggu, Cinta! Si Mata Indah itu siapa sih? Apa aku kenal dia?” selidik Angga mengejar langkah Cinta.
“Udah, nanti kamu pasti bakalan tau juga siapa orangnya.” jawab Cinta lagi tersenyum manja.
***
Begitulah seharusnya cerita tentang pencarian cinta, selalu ada tanya yang menggantung, ada kata tentang penantian, dan ada saat di mana dua hati yang berjauhan akan menyatu dalam sebuah ikatan. Saling melengkapi satu sama lain. Sekali lagi, karena cinta memang ditakdirkan hanya untuk mereka yang mempercayai keberadaannya dan menikmati segala keindahannya.