::Something about...

Foto Saya
Feby Widyanata Susilo
I wanna be Happily Ever After!!! ~^^
Lihat profil lengkapku

:: I'm on Twitter...

:: Your Comments...

Follower

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 15 Maret 2011

MASYARAKAT RESPONSIF GENDER

Dalam sebuah harian yang pernah saya baca tertulis beberapa kalimat yang begitu mengagungkan perempuan, antara lain

“Dibalik lelaki sukses, selalu ada wanita yang luar biasa”

Pepatah Arab “Perempuan bisa memendam cinta selama 40 tahun, tetapi tidak dapat menyimpan kebencian serta kemarahan walau sekilas”

Pepatah Tiongkok “Pria adalah kepala keluarga. Sedangkan wanita menjadi leher yang menggerakkan kepala”.



Lantas mengapa hingga saat ini, masih banyak kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan? Kira-kira, mengapa hal ini masih terus terjadi dalam masyarakat kita? Apa karena sebagian besar sosial budaya kita menganut sistem Patriarki sehingga perempuan selalu dijadikan the second class citizen? Semua hal selalu berdampak pada kaum hawa. Mereka selalu dijadikan “pelengkap penderita”. Kemiskinan berdampak pada KDRT ibu rumah tangga. Peredaran berbagai hal yang berbau porno, pasti berdampak pada pelecehan terhadap perempuan. Eksploitasi perempuan tak bisa dihindari lagi dengan semakin berkembangnya tempat prostitusi di berbagai daerah di Indonesia, berakibat pada penyakit menular yang merajarela. Padahal, semestinya kaum perempuan adalah kaum yang dilindungi dan memberi sumbangsih yang besar untuk kemajuan suatu negara.

Entah mengapa, saat melihat kondisi ini, saya ingin menulis tentang satu kata yang berhubungan dengan peran perempuan, yaitu Gender, mungkin Gender bisa dijadikan solusi dalam pemecahan masalah tersebut. Walau mungkin bagi sebagian orang kata itu masih agak asing dan berkaitan dengan pengertian tentang jenis kelamin saja. Hal itu tentu keliru dan tidak sesuai dengan pengertian seutuhnya.

Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Lalu menurut Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegaskan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, dan Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Jadi, secara keseluruhan dapat diperoleh pengetian Gender secara lebih spesifik adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan kontruksi sosial budaya yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender bukanlah kodrat, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau kontruksi sosial yang dapat berubah dan dipertukarkan.


Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini.

Sebenarnya kondisi ini tidak ada salahnya. tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik laki-laki maupun perempuan) pada posisi yang tidak menguntungkan (kesenjangan gender). Misalnya bagi sebagian masyarakat (Patriarki) berpandangan bahwa laki-laki adalah yang utama sedangkan perempuan adalah yang kedua, di mana laki-laki memperoleh akses dan kontrol yang lebih memadai dibanding perempuan. Misalnya, dalam pendidikan anak perempuan lebih cepat dinikahkan dan dirasa tidak perlu mendapat pendidikan yang lebih tinggi karena mereka pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga saja. Anggapan inilah yang memperparah keadaan. Sedangkan laki-laki adalah pencari nafkah malah dirasa harus memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, hal inilah yang menyebabkan kesenjangan dalam gender makin menjadi-jadi. Dalam bidang pertanian juga terjadi kesenjangan gender, di mana perempuan tani kurang mendapat akses dalam mengikuti penyuluhan-penyuluhan pertanian yang diberikan oleh pemerintah, sehingga mereka tidak memiliki pengetahuan baru dalam usahatani mereka.

Perempuan identik dengan pekerjaan domestik sedangkan laki-laki identik dengan pekerjaan produktif. Padahal boleh jadi, perempuan juga dapat memberi kontribusi mereka untuk pembangunan, yang mana tentu harus dilandasi dengan nilai agama dan moral dalam melaksanakan kontribusi tersebut.

Ini adalah realita, saya pernah praktek lapang ke sebuah desa di Kabupaten Bulukumba. Di sana, ada sebuah keluarga tani yang saya temui, anak gadis mereka masih seumuran dengan saya. Tapi berbeda dengan saya yang masih melanjutkan pendidikan saya, dia tidak sempat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dia telah memiliki dua orang anak. Dia mengatakan hanya saudara laki-lakinya yang melanjutkan studi ke kota Makassar. Tentu di dalamnya, jelas terlihat kesenjangan gender.

Kesenjangan-kesenjangan gender yang terjadi dalam masyarakat menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan hak perempuan kembali dirampas. Untuk itu perlu adanya perjuangan tentang kesetaraan gender. Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi laki-laki atau perempuan, sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik dan proses-proses pengambilan keputusan.

Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender.

Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan sebagai langkah awal dalam memperjuangkan kesetaraan gender, yaitu:

1. Bangun kesadaran diri
Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun kesadaran diri. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena peran-peran yang menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan sosialisasi, cara mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru. Kita bisa melakukan latihan atau diskusi secara kritis. Minta profesional, aktivis kesetaraan gender, atau siapa pun yang kita pandang mampu membantu untuk memandu pelatihan dan diskusi yang kita adakan bersama.

1. Bukan urusan perempuan semata
Kita harus membangun pemahaman dan pendekatan baru bahwa ini juga menyangkut laki-laki. Tidak mungkin akan terjadi perubahan jika laki-laki tidak terlibat dalam usaha ini. Perempuan bisa dilatih untuk lebih aktif, berani, dan mampu mengambil keputusan, sedangkan laki-laki pun perlu dilatih untuk menghormati dan menghargai kemampuan perempuan dan mau bermitra untuk maju.

1. Bicarakan
Salah satu cara untuk memulai perubahan adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau diskriminasi. Cara terbaik adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka dan bersahabat. Harus ada media untuk membangun dialog untuk menyepakati cara-cara terbaik membangun relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin.

1. Kampanyekan
Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya yang besar, hasil dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang lebih baik harus kita kampanyekan sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat melihat “laki-laki” dan “perempuan” dalam ukuran “kepantasan” yang mereka pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa sistem sosial-budaya yang merupakan produk cara berpikir sering kali tidak berpihak, menekan, dan menghambat peluang perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Jadi ini memang soal mengubah cara pikir.

1. Terapkan dalam kehidupan sehari-hari
Tidak ada cara terbaik untuk merealisasikan kondisi yang lebih baik selain menerapkan pola relasi yang setara dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari diri kita sendiri, lalu kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk menerapkannya.


Dalam menuntaskan permasalahan perempuan di Indonesia setidaknya ada 3 langkah strategis yang perlu dilakukan :

Pertama, memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia untuk lebih hidup sejahtera dengan program peningkatan alokasi anggaran untuk pemberdayaan keluarga miskin, khususnya bagi janda, pemenuhan gizi ibu hamil/menyusui melalui program tunjangan ibu hamil dan menyusui, jaminan sosial bagi ibu yang melahirkan (mengingat angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tinggi), upah kerja yang adil bagi perempuan sesuai standar profesionalisme, mengupayakan jam kerja yang ramah bagi pekerja perempuan, mengupayakan jaminan hukum yang tegas atas pelanggaran harkat dan martabat perempuan dan jaminan sosial bagi ibu dan anak korban kekerasan oleh negara.

Kedua, mewujudkan perempuan Indonesia yang cerdas. Untuk itu, akses perempuan perlu diperluas dalam kesempatan memperoleh peningkatan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan intelektualnya baik formal, maupun informal. Perlu juga dilakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan fitrah perempuan dan adanya pengembangan jiwa wirausaha perempuan melalui pendidikan dan pelatihan. Perempuan-perempuan berhak mendapat pekerjaan yang lebih pantas (tidak bekerja hanya karena keindahan tubuhnya saja dan tidak bekerja sebagai pekerja seks komersial saja) tapi lebih ke sebuah wirausaha yang bermodalkan bakat mereka.

Ketiga, mewujudkan perempuan Indonesia yang berdaya, partisipasi konstruktif perempuan di wilayah publik secara proporsional sangat dinantikan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan peran perempuan di lembaga pengambil kebijakan dan memberikan jaminan bagi penyaluran aspirasi / kepentingan perempuan dan keluarga.

Keempat, melaksanakan kegiatan-kegiatan atau kebijakan-kebijakan pemberdayaan masyarakat yang berlandaskan pengarusutamaan gender sehingga perempuan juga memperoleh kesempatan yang sama dalam pembangunan bangsa.

Sekali lagi, kesetaraan gender sangat penting untuk pembangunan bangsa. Perempuan-perempuan Indonesia memiliki kemampuan yang lebih baik dibanding negara lain. Mari kita buktikan bersama. Perempuan harus menjadi “leher” yang menggerakkan “kepala”.


***

Saat semangat mengerjakan tugas mata kuliah Gender dan Pemberdayaan Masyarakat Tani yang menumpuk (tulis tangan pula). Hehehe... ^_^

0 komentar:

Posting Komentar

 
 

Designed by: Compartidísimo | Brought to you by Blogger Template Place & Blogger Tutorial
Scrapping elements: Deliciouscraps©